A. Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan (1945-1969)
Pendidikan dan pengajaran sampai tahun 1945 di selenggarakan oleh kentor pengajaran yang terkenal dengan nama jepang Bunkyio Kyoku dan merupakan bagian dari kantor penyelenggara urusan pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Setelah di proklamasikannya kemerdekaan, pemerintah Indonesia yang baru di bentuk menunjuk Ki Hajar Dewantara, pendiri taman siswa, sebagai menteri pendidikan dan pengajaran mulai 19 Agustus sampai 14 November 1945, kemudian diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946. tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dig anti oleh Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober 1946. karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, pada dasarnya tidak bayak yang dapat diperbuat oleh para mentri tersebut.
1. Tujuan Dan Kurikulum Pendidikan
Dalam kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami lima kali perubahan. Sebagaimana tertuang dalam surat keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP & K), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1946, tujuan pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan amat menekankan penanaman jiwa patriotosme. Hal ini dapat di pahami, karena pada saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas dari penjajah yang berlangsung ratusan tahun, dan masih ada gelagat bahwa Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Oleh karena itu penanaman jiwa patrionisme melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban guna mempertahankan negara yang baru diproklamasikan.
Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patrionisme. Dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia yang cukup dan warga negara yang demokaratis secara bertanggung jawab tentang kesejahtraan masyarakat dan tanah air”.
Kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan dan tahun 1950-an di tujukan untuk:
• meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
• meningkatkan pendidikan jasmani,
• meningkatkan pendidikan watak,
• menberikan perhatian terhafap kesenian,
• menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, dan
• mengurangi pendidikan pikiran.
Menyusul meletusnya G-30 S/PKI yang gagal, maka melalui TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan kebudayaan di adakan perubahan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu, “Membentuk manusia pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikenhendaki oleh pembukaan UUD 1945”.
2. Sistem Persekolahan
Sistem pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan pada dasarnya melanjutkan apa yang dikembangkan pada zaman pendudukan jepang. Sistem dimaksud meliputi tiga tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan rendah adalah Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun. Pendidikan menengah terdiri dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi. Sekolah menengah pertama yang berlangsung tiga tahun mempunyai beberapa jenis, yaitu sekolah menegah pertama (SMP) sebagai sekolah menengah pertama umum; kemudian sekolah teknik pertama (STP), kursus kerajinan negeri (KKN), sekolah dagang,sekolah kepandayan putrid (SKP) sebagai sekolah menengah pertama kejuruan; serta sekolah guru B (SGB) dan sekolah guru C (SGC) sebagai sekolah menengah pertama keguruan.
Sekolah menegah tinggi berlangsung tiga tahun, meliputi sekolah menengah tinggi (SMT) sebagai sekolah menengah umum, dan sekolah kejuruan berupa sekolah teknik menengah (STM), sekolah teknik (ST), sekolah guru kepandayan putrid (SGKP), sekolah guru A (SGA) dan kursus guru.
B. Pedidikan di Indonesia Selama PJP I (1969-1993)
Pembangunan jangka panjang meliputi lima pelita, yaitu pelita I-V yang dimulai pada tahun 1969/1970 hingga tahun 1993/1994, atau 25 tahun. Selama kurun tersebut, pendidikan Indonesia Indonesia mengalami kemajuan. Hal ini terutama di tandai oleh semakin luasnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; meningkatnya jumblah sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia serta tenaga yang terlibat dalam pendidikan; meningkatnya mutu pendidikan dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya; semakin mantapnya sistem pendidikan nasional dengan di sahkan undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang system pendidikan nasional beserta sejumblah peraturan pemerintah yang menyertainya.
Namun demikian, hingga berakhirnya pelita V, pendidikan nasional masi di hadapkan dengan berbagai tantangan baik kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, tantangan yang di hadapi menyangkut pemerataan kesempatan untuk mamperoleh pendidikan khususnya pendidikan dasar, sementara secara kualitatif tantangan yang di hadapi berkenan dengan upaya mutu pendidikan, peningkatan relefansi pendidikan dengan penbangunan, efektifitas dan efisiensi pendidikan.
http://vandocrmakaruku.blogspot.com/2009/08/sejarah-pendidikan.html
Rabu, 16 Desember 2009
SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA
MATA KULIAH : FILSAFAT DAN SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA
DOSEN : PROF. DR. HELiUS SJAMSUDDIN, MA
KODE MATA KULIAH : PUN 364
BOBOT SKS : (2 SKS)
JENJANG STUDI : MAGISTER
Setiap pemikir mempunyai definisi berbeda tentang makna filsafat karena pengertiannya yang begitu luas dan abstrak. Tetapi secara sederhana filsafat dapat dimaknai bersama sebagai suatu sistim nilai-nilai (systems of values) yang luhur yang dapat menjadi pegangan atau anutan setiap individu, atau keluarga, atau kelompok komunitas dan/atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara tertentu. Pendidikan sebagai upaya terorganisasi, terencana, sistimatis, untuk mentransmisikan kebudayaan dalam arti luas (ilmu pengetahuan, sikap, moral dan nilai-nilai hidup dan kehidupan, ketrampilan, dll.) dari suatu generasi ke generasi lain. Adapun visi, misi dan tujuannya yang ingin dicapai semuanya berlandaskan suatu filsafat tertentu. Bagi kita sebagai bangsa dalam suatu negara bangsa (nation state) yang merdeka, pendidikan kita niscaya dilandasi oleh filsafat hidup yang kita sepakati dan anut bersama.
Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai bangsa (nation formation) sampai kepada terbentuknya negara bangsa (state formation dan nation state) yang merdeka, pada setiap kurun zaman, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi utama dari setiap bentuk pendidikan karena menyangkut sistem nilai-nilai (systems of values) yang memberi warna dan menjadi "semangat zaman" (zeitgeist) yang dianut oleh setiap individu, keluarga, anggota¬-anggota komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara nasional. Landasan filsafat ini hanya dapat dirunut melalui kajian sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan Indonesia.
Sebagai komparasi, di negara-negara Eropa (dan Amerika) pada abad ke-19 dan ke-20 perhatian kepada Sejarah Pendidikan telah muncul dari dan digunakan untuk maksud-maksud lebih lanjut yang bermacam-macam, a.l. untuk membangkitkan kesadaran berbangsa, kesadaran akan kesatuan kebudayaan, pengembangan profesional guru-guru, atau untuk kebanggaan terhadap lembaga¬-lembaga dan tipe-tipe pendidikan tertentu. (Silver, 1985: 2266).
Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada maksud dari kajian itu: mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistim pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai kepada pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial atau kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan gerakan-gerakan sosial. Sehubungan dengan MI semua Sejarah Pendidikan erat kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial. (Silver, 1985: Talbot, 1972: 193-210)
Esensi dari pendidikan itu sendiri sebenarnya ialah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide dan nilai-nilai spiritual serta (estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa. Oleh sebab itu sejarah dari pendidikan mempunyai sejarah yang sama tuanya dengan masyarakat pelakunya sendiri, sejak dari pendidikan informal dalam keluarga batih, sampai kepada pendidikan formal dan non-formal dalam masyarakat agraris maupun industri.
Selama ini Sejarah Pendidikan masih menggunakan pendekatan lama atau "tradisional" yang umumnya diakronis yang kajiannya berpusat pada sejarah dari ide¬-ide dan pemikir-pemikir besar dalam pendidikan, atau sejarah dan sistem pendidikan dan lembaga-lembaga, atau sejarah perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan. (Silver, 1985: 2266) Pendekatan yang umumnya diakronis ini dianggap statis, sempit serta terlalu melihat ke dalam. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan dalam pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul atau ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru dalam Sejarah Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan pendidikan kemudian. (Talbot, 1972: 206-207)
Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat hubungan timbal balik antara pendidikan dan masyarakat; antara penyelenggara pendidikan dengan pemerintah sebagai representasi bangsa dan negara yang merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan nasional. Produk dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun horizontal); masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang dampak-dampaknya (positif ataupun negatif) dirasakan terutama oleh masyarakat pemakai, misalnya, timbulnya golongan menengah yang menganggur karena jenis pendidikan tidak sesuai dengan pasar kerja; atau kesenjangan dalam pemerataan dan mutu pendidikan; pendidikan lanjutan yang hanya dapat dinikmati oleh anak-anak orang kaya dengan pendidikan terminal dari anak-¬anak yang orang tuanya tidak mampu; komersialisasi pendidikan dalam bentuk yayasan-yayasan dan sebagainya. Semuanya menuntut peningkatan metodologis penelitian dan penulisan sejarah yang lebih baik danipada sebelumnya untuk menangani semua masalah kependidikan ini.
Sehubungan dengan di atas pendekatan Sejarah Pendidikan baru tidak cukup dengan cara-cara diakronis saja. Perlu ada pendekatan metodologis yang baru yaitu a.l, interdisiplin. Dalam pendekatan interdisiplin dilakukan kombinasi pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ihmu sosial. Sekarang ini ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi, sosiologi, dan politik telah memasuki "perbatasan" (sejarah) pendidikan dengan "ilmu-ilmu terapan" yang disebut antropologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan politik pendidikan. Dalam pendekatan ini dimanfaatkan secara optimal dan maksimal hubungan dialogis "simbiose mutualistis" antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial.
Sejarah Pendidikan Indonesia dalam arti nasional termasuk relatif baru. Pada zaman pemerintahan kolonial telah juga menjadi perhatian yang diajarkan secara diakronis sejak dari sistem-sistem pendidikan zaman Hindu, Islam, Portugis, VOC, pemerintahan Hindia-Belanda abad ke-19. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan zaman Jepang dan setelah Indonesia merdeka model diakronis ini masih terus dilanjutkan sampai sekarang.
Perkuliahan dilakukan dengan pendekatan interdisiplm (diakronik dan/atau sinkronik). Untuk Sejarah Pendidikan Indonesia mutakhir, substansinya seluruh spektrum pendidikan yang secara temporal pernah berlaku dan masih berlaku di Indonesia; hubungan antara kebijakan pendidikan dengan politik nasional pemerintah, termasuk kebijakan penyusunan dan perubahan kurikulum dengan segala aspeknya yang menyertainya; lembaga-lembaga pendidikan (pemerintah maupun swasta); pendidikan formal dan non-formal; pendidikan umum, khusus dan agama. Singkatnya segala macam makalah yang dihadapi oleh pendidikan di Indonesia dahulu dan sekarang dan melihat prosepeknya ke masa depan. Sejarah sebagai kajian reflektif dapat dimanfaatkan untuk melihat prosepek ke depan meskipun tidak punya pretensi meramal. Dalam setiap bahasan dicoba dilihat filosofi yang melatarinya.
Sumber-sumber yang digunakan: sumber pertama (primary sources) berupa dokumen-dokumen yang menyangkut kebijakan pendidikan; sumber kedua (secondary sources) benipa artikel, monograf, atau buku-buku tentang perkembangan dan makalah pendidikan. Sebagai bahan komparasi sumber-sumber mengenai Sejarah Pendidikan di negara-negara lain yang dapat diperoleh melalui internet dll.
Cara penyajian kuliah sebagian besar melalui diskusi-diskusi, terutama membahas dokumen-dokumen dari sumber-sumber pertama; membuat Chapter dan/atau Book Report; menyusun makalah individual dan/atau kelompok yang didiskusikan.
DAFTAR PUSTAKA (sementara):
Brugmans, LJ. 1938. Geschiedenis van het OnderwUs in Nederlandsch-Indiey Groningen-Batavia: J.B. Wolters.
Church, Robert L. 1971. "History of Education as a Field of Study", dalam The Encyclopedia of Education. The Macmillan Company & Free Press.
Djojonegoro, Wardiman. 1996. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departernen Pendidikan dan Kebudayaan.
Good, Carter V. & Scates, Douglas E. 1954. Methods of Research Educational, Psychological, Sociological. New York: Appleton-Cent uy. Crofts, Inc.
Good, H.G. 1968. A History of Wester1iEducation. 2"d ed. New York: The Macmillan Company.
Hans, Nicholas. 1958. Comparative Education. A Study of Educational Factors and Traditions. London: Routledge & Kegan Paul Limited.
Makmur, Djohan, et.al. 1993. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan. Jakarta: IDSN.
Meyer, Adolphe E. 1972. An Educational History of the Western World. New York: Magraw -Hill Book Company.
Miller, T.W.G., ed. 1968. Education in South-East Asia. Sidney: Ian Novak.
Poerbakawatja, Soegarda. 1970. Pendidikan Dalam Alam Indonesia Merdeka. Djakarta: PT Ginning Agung.
Silver, H. 1985. "Historiography of Education", dalarn The International Encyclopedia of Education.
Sjamsuddin, Helms , et.al. 1993. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Kemerdekaan (1945-1966). Jakarta: IDSN.
Talbott, John E. 1972. "Education in Intellectual and Social History", dalam Felix Gilbert & Stephen R. Graubard, ed. Historical Studies Today. New York: W.W.
Tilaar, H.A.R. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995. Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Grasindo.
Yunus, Mahmud. 1992. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Wal, S.L. van der. 1963. Het Onderwysbeleid in Nederlands-Indie., 1900-1940. Een Bronnenpublikatie. Groningen: J. B. Wolters.
Termasuk: Literatur tentang Pendidikan Taman Siswa, Pendidikan di Kayu Tanam, dll.
Bandung, I Mei 2001
DOSEN : PROF. DR. HELiUS SJAMSUDDIN, MA
KODE MATA KULIAH : PUN 364
BOBOT SKS : (2 SKS)
JENJANG STUDI : MAGISTER
Setiap pemikir mempunyai definisi berbeda tentang makna filsafat karena pengertiannya yang begitu luas dan abstrak. Tetapi secara sederhana filsafat dapat dimaknai bersama sebagai suatu sistim nilai-nilai (systems of values) yang luhur yang dapat menjadi pegangan atau anutan setiap individu, atau keluarga, atau kelompok komunitas dan/atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara tertentu. Pendidikan sebagai upaya terorganisasi, terencana, sistimatis, untuk mentransmisikan kebudayaan dalam arti luas (ilmu pengetahuan, sikap, moral dan nilai-nilai hidup dan kehidupan, ketrampilan, dll.) dari suatu generasi ke generasi lain. Adapun visi, misi dan tujuannya yang ingin dicapai semuanya berlandaskan suatu filsafat tertentu. Bagi kita sebagai bangsa dalam suatu negara bangsa (nation state) yang merdeka, pendidikan kita niscaya dilandasi oleh filsafat hidup yang kita sepakati dan anut bersama.
Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai bangsa (nation formation) sampai kepada terbentuknya negara bangsa (state formation dan nation state) yang merdeka, pada setiap kurun zaman, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi utama dari setiap bentuk pendidikan karena menyangkut sistem nilai-nilai (systems of values) yang memberi warna dan menjadi "semangat zaman" (zeitgeist) yang dianut oleh setiap individu, keluarga, anggota¬-anggota komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara nasional. Landasan filsafat ini hanya dapat dirunut melalui kajian sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan Indonesia.
Sebagai komparasi, di negara-negara Eropa (dan Amerika) pada abad ke-19 dan ke-20 perhatian kepada Sejarah Pendidikan telah muncul dari dan digunakan untuk maksud-maksud lebih lanjut yang bermacam-macam, a.l. untuk membangkitkan kesadaran berbangsa, kesadaran akan kesatuan kebudayaan, pengembangan profesional guru-guru, atau untuk kebanggaan terhadap lembaga¬-lembaga dan tipe-tipe pendidikan tertentu. (Silver, 1985: 2266).
Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada maksud dari kajian itu: mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistim pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai kepada pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial atau kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan gerakan-gerakan sosial. Sehubungan dengan MI semua Sejarah Pendidikan erat kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial. (Silver, 1985: Talbot, 1972: 193-210)
Esensi dari pendidikan itu sendiri sebenarnya ialah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide dan nilai-nilai spiritual serta (estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa. Oleh sebab itu sejarah dari pendidikan mempunyai sejarah yang sama tuanya dengan masyarakat pelakunya sendiri, sejak dari pendidikan informal dalam keluarga batih, sampai kepada pendidikan formal dan non-formal dalam masyarakat agraris maupun industri.
Selama ini Sejarah Pendidikan masih menggunakan pendekatan lama atau "tradisional" yang umumnya diakronis yang kajiannya berpusat pada sejarah dari ide¬-ide dan pemikir-pemikir besar dalam pendidikan, atau sejarah dan sistem pendidikan dan lembaga-lembaga, atau sejarah perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan. (Silver, 1985: 2266) Pendekatan yang umumnya diakronis ini dianggap statis, sempit serta terlalu melihat ke dalam. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan dalam pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul atau ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru dalam Sejarah Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan pendidikan kemudian. (Talbot, 1972: 206-207)
Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat hubungan timbal balik antara pendidikan dan masyarakat; antara penyelenggara pendidikan dengan pemerintah sebagai representasi bangsa dan negara yang merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan nasional. Produk dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun horizontal); masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang dampak-dampaknya (positif ataupun negatif) dirasakan terutama oleh masyarakat pemakai, misalnya, timbulnya golongan menengah yang menganggur karena jenis pendidikan tidak sesuai dengan pasar kerja; atau kesenjangan dalam pemerataan dan mutu pendidikan; pendidikan lanjutan yang hanya dapat dinikmati oleh anak-anak orang kaya dengan pendidikan terminal dari anak-¬anak yang orang tuanya tidak mampu; komersialisasi pendidikan dalam bentuk yayasan-yayasan dan sebagainya. Semuanya menuntut peningkatan metodologis penelitian dan penulisan sejarah yang lebih baik danipada sebelumnya untuk menangani semua masalah kependidikan ini.
Sehubungan dengan di atas pendekatan Sejarah Pendidikan baru tidak cukup dengan cara-cara diakronis saja. Perlu ada pendekatan metodologis yang baru yaitu a.l, interdisiplin. Dalam pendekatan interdisiplin dilakukan kombinasi pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ihmu sosial. Sekarang ini ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi, sosiologi, dan politik telah memasuki "perbatasan" (sejarah) pendidikan dengan "ilmu-ilmu terapan" yang disebut antropologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan politik pendidikan. Dalam pendekatan ini dimanfaatkan secara optimal dan maksimal hubungan dialogis "simbiose mutualistis" antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial.
Sejarah Pendidikan Indonesia dalam arti nasional termasuk relatif baru. Pada zaman pemerintahan kolonial telah juga menjadi perhatian yang diajarkan secara diakronis sejak dari sistem-sistem pendidikan zaman Hindu, Islam, Portugis, VOC, pemerintahan Hindia-Belanda abad ke-19. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan zaman Jepang dan setelah Indonesia merdeka model diakronis ini masih terus dilanjutkan sampai sekarang.
Perkuliahan dilakukan dengan pendekatan interdisiplm (diakronik dan/atau sinkronik). Untuk Sejarah Pendidikan Indonesia mutakhir, substansinya seluruh spektrum pendidikan yang secara temporal pernah berlaku dan masih berlaku di Indonesia; hubungan antara kebijakan pendidikan dengan politik nasional pemerintah, termasuk kebijakan penyusunan dan perubahan kurikulum dengan segala aspeknya yang menyertainya; lembaga-lembaga pendidikan (pemerintah maupun swasta); pendidikan formal dan non-formal; pendidikan umum, khusus dan agama. Singkatnya segala macam makalah yang dihadapi oleh pendidikan di Indonesia dahulu dan sekarang dan melihat prosepeknya ke masa depan. Sejarah sebagai kajian reflektif dapat dimanfaatkan untuk melihat prosepek ke depan meskipun tidak punya pretensi meramal. Dalam setiap bahasan dicoba dilihat filosofi yang melatarinya.
Sumber-sumber yang digunakan: sumber pertama (primary sources) berupa dokumen-dokumen yang menyangkut kebijakan pendidikan; sumber kedua (secondary sources) benipa artikel, monograf, atau buku-buku tentang perkembangan dan makalah pendidikan. Sebagai bahan komparasi sumber-sumber mengenai Sejarah Pendidikan di negara-negara lain yang dapat diperoleh melalui internet dll.
Cara penyajian kuliah sebagian besar melalui diskusi-diskusi, terutama membahas dokumen-dokumen dari sumber-sumber pertama; membuat Chapter dan/atau Book Report; menyusun makalah individual dan/atau kelompok yang didiskusikan.
DAFTAR PUSTAKA (sementara):
Brugmans, LJ. 1938. Geschiedenis van het OnderwUs in Nederlandsch-Indiey Groningen-Batavia: J.B. Wolters.
Church, Robert L. 1971. "History of Education as a Field of Study", dalam The Encyclopedia of Education. The Macmillan Company & Free Press.
Djojonegoro, Wardiman. 1996. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departernen Pendidikan dan Kebudayaan.
Good, Carter V. & Scates, Douglas E. 1954. Methods of Research Educational, Psychological, Sociological. New York: Appleton-Cent uy. Crofts, Inc.
Good, H.G. 1968. A History of Wester1iEducation. 2"d ed. New York: The Macmillan Company.
Hans, Nicholas. 1958. Comparative Education. A Study of Educational Factors and Traditions. London: Routledge & Kegan Paul Limited.
Makmur, Djohan, et.al. 1993. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan. Jakarta: IDSN.
Meyer, Adolphe E. 1972. An Educational History of the Western World. New York: Magraw -Hill Book Company.
Miller, T.W.G., ed. 1968. Education in South-East Asia. Sidney: Ian Novak.
Poerbakawatja, Soegarda. 1970. Pendidikan Dalam Alam Indonesia Merdeka. Djakarta: PT Ginning Agung.
Silver, H. 1985. "Historiography of Education", dalarn The International Encyclopedia of Education.
Sjamsuddin, Helms , et.al. 1993. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Kemerdekaan (1945-1966). Jakarta: IDSN.
Talbott, John E. 1972. "Education in Intellectual and Social History", dalam Felix Gilbert & Stephen R. Graubard, ed. Historical Studies Today. New York: W.W.
Tilaar, H.A.R. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995. Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Grasindo.
Yunus, Mahmud. 1992. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Wal, S.L. van der. 1963. Het Onderwysbeleid in Nederlands-Indie., 1900-1940. Een Bronnenpublikatie. Groningen: J. B. Wolters.
Termasuk: Literatur tentang Pendidikan Taman Siswa, Pendidikan di Kayu Tanam, dll.
Bandung, I Mei 2001
PENDIDIKAN PADA MASA KEMERDEKAAN
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono: 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah: pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, yang sering kita sebut sebagai orde lama, praktek pendidikan dalam masa pembangunan orde baru, dan praktek pendidikan di era reformasi sekarang.
PENDIDIKAN PADA MASA KEMERDEKAAN
Perkembangan pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan memberikan gambaran yang penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam kongres pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah sistem pendidikan yang berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri.
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing dengan pengantar bahasa Belanda.
Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan se telah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri.
KEADAAN MASYARAKAT PADA MASA ORDE LAMA
Sesudah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, terjadi perubahan kehidupan sosial dalam masyarakat Indonesia. Pada waktu zaman kolonial Belanda adanya diskriminasi sebagai ciri pokoknya menempatkan bangsa Belanda sebagai warga negara kelas satu, kemudian timur asing dan yang terakhir adalah golongan pribumi Indonesia. Struktur itu berubah lagi setelah zaman pendudukan Jepang tingkatannya meliputi kelas 1 adalah orang Jepang, Pribumi Indonesia kelas 2, dan Timur Asing dan Indo menjadi warga negara kelas 3.
Setelah Indonesia merdeka diskriminasi yang pernah dilakukan oleh kolonial Belanda maupun Jepang dihapuskan. Indonesia tidak mengadakan perbedaan perlakuan berdasarkan ras, keturunan, agama, atau kepercayaan yang dianut warga negaranya. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Namun, di sana-sini masih terdapat sisa-sisa semangat diskriminasi dari zaman penjajahan yang harus kita lenyapkan.
Tetapi zaman permulaan yang penuh semangat kebangsaan dalam menghadapi musuh dari luar, seperti ancaman Belanda yang masih selalu berusaha kembali ke Indonesia bersama NICA, juga mulai masuk musuh dari dalam yang berbentuk pengaruh ideologi Komunis. Akhirnya PKI menjadi partai politik yang terbesar dan terkuat. Pengaruh ini mulai masuk ke dalam parpol seperti PNI dengan mengubah namanya menjadi Marhaenism dari PNI menjadi Marxisme yang diterapkan dalam kondisi Indonesia.
Ke dalam dunia pendidikan, pengaruh ideologi kiri masuk melalui pengangkatan Menteri PP dan K Prof. Dr. Priyono dari partai kiri Murba.
SEMANGAT BERGULIRNYA PEMIKIRAN DARI TOKOH PENDIDIKAN KLASIK
a. Ki Hajar Dewantoro
Ki Hajar Dewantoro adalah Bapak Pendidikan Nasional Indonesia yang banyak mengkonsep sistem pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan. Visi, misi dan tujuan pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantoro adalah bahwa pendidikan sebagai alat perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat dan kemajuan umat manusia secara universal. Sehingga mereka mampu berdiri kokoh sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dan tetap berpijak kepada identitas dirinya sebagai bangsa yang telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang berbeda dengan bangsa lain.
Selanjutnya Ki Hajar Dewantoro juga menginginkan agar pendidikan yang diberikan kepada bangsa Indonesia adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu pendidikan yang dapat membawa kemajuan bagi peserta didik. Ungkapan ini merupakan respon dari adanya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat kita, yaitu pendidikan yang mengajarkan hal-hal yang sulit dipelajari tetapi tidak berfungsi untuk masa depan.
b. Hasyim Asy’ari
Gagasan Hasyim Asy’ari adalah bahwa untuk berjuang mewujudkan cita-cita nasional termasuk dalam bidang pendidikan, diperlukan wadah berupa organisasi pada tahun 1926 ia mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, dalam organisasi ini Hasyim Asy’ari berjuang membina dan menggerakkan masyarakat melalui pendidikan. Beliau juga mendirikan pondok pesantren sebagai basis pendidikan dan perjuangan melawan Belanda.
c. K.H. Ahmad Dahlan
Selain itu, Ahmad Dahlan juga berpandangan bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai kehidupan dunia. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana siswa itu hidup. Dengan pendapatnya yang demikian itu, sesungguhnya Ahmad Dahlan mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa mencoba melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.
Ahmad Dahlan sadar, bahwa tingkat partisipasi muslim yang rendah dalam sektor-sektor pemerintahan itu karena kebijakan pemerintah kolonial yang menutup peluang bagi muslim untuk masuk. Berkaitan dengan kenyataan serupa ini, maka Ahmad Dahlan berusaha memperbaikinya dengan memberikan pencerahan tentang pentingnya pendidikan yang sesuai perkembangan zaman bagi kemajuan bangsa. Berkaitan dengan masalah ini Ahmad Dahlan mengutip ayat 13 surat al-Ra’d yang artinya: Sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.
Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan sebagaimana tersebut di atas dilaksanakan lebih lanjut melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya. Salah satu kegiatan atau program unggulan organisasi ini adalah bidang pendidikan. Sekolah Muhammadiyah yang pertama berdiri satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi berdiri. Pada tahun 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama bisa memberikan mata pelajaran umum.
KESIMPULAN
Sistem pendidikan nasional di Indonesia pada zaman orde lama masih banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan zaman Belanda. Dalam usahanya Ki hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan mencoba merumuskan Sistem pendidikan nasional yang berlandaskan budaya bangsa Indonesia sendiri demi mewujudkan bangsa yang terhormat dan maju.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Muh. Said dan Junima Affan, Mendidik dari Zaman ke Zaman, Bandung: Jemmars, 1987.
Nugroho Noto Susanto, Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, 1983.
Tim Sejarah, Sejarah 2, Jakarta: Yudhistira, 1994.
PENDIDIKAN PADA MASA KEMERDEKAAN
Perkembangan pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan memberikan gambaran yang penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam kongres pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah sistem pendidikan yang berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri.
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing dengan pengantar bahasa Belanda.
Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan se telah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri.
KEADAAN MASYARAKAT PADA MASA ORDE LAMA
Sesudah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, terjadi perubahan kehidupan sosial dalam masyarakat Indonesia. Pada waktu zaman kolonial Belanda adanya diskriminasi sebagai ciri pokoknya menempatkan bangsa Belanda sebagai warga negara kelas satu, kemudian timur asing dan yang terakhir adalah golongan pribumi Indonesia. Struktur itu berubah lagi setelah zaman pendudukan Jepang tingkatannya meliputi kelas 1 adalah orang Jepang, Pribumi Indonesia kelas 2, dan Timur Asing dan Indo menjadi warga negara kelas 3.
Setelah Indonesia merdeka diskriminasi yang pernah dilakukan oleh kolonial Belanda maupun Jepang dihapuskan. Indonesia tidak mengadakan perbedaan perlakuan berdasarkan ras, keturunan, agama, atau kepercayaan yang dianut warga negaranya. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Namun, di sana-sini masih terdapat sisa-sisa semangat diskriminasi dari zaman penjajahan yang harus kita lenyapkan.
Tetapi zaman permulaan yang penuh semangat kebangsaan dalam menghadapi musuh dari luar, seperti ancaman Belanda yang masih selalu berusaha kembali ke Indonesia bersama NICA, juga mulai masuk musuh dari dalam yang berbentuk pengaruh ideologi Komunis. Akhirnya PKI menjadi partai politik yang terbesar dan terkuat. Pengaruh ini mulai masuk ke dalam parpol seperti PNI dengan mengubah namanya menjadi Marhaenism dari PNI menjadi Marxisme yang diterapkan dalam kondisi Indonesia.
Ke dalam dunia pendidikan, pengaruh ideologi kiri masuk melalui pengangkatan Menteri PP dan K Prof. Dr. Priyono dari partai kiri Murba.
SEMANGAT BERGULIRNYA PEMIKIRAN DARI TOKOH PENDIDIKAN KLASIK
a. Ki Hajar Dewantoro
Ki Hajar Dewantoro adalah Bapak Pendidikan Nasional Indonesia yang banyak mengkonsep sistem pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan. Visi, misi dan tujuan pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantoro adalah bahwa pendidikan sebagai alat perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat dan kemajuan umat manusia secara universal. Sehingga mereka mampu berdiri kokoh sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dan tetap berpijak kepada identitas dirinya sebagai bangsa yang telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang berbeda dengan bangsa lain.
Selanjutnya Ki Hajar Dewantoro juga menginginkan agar pendidikan yang diberikan kepada bangsa Indonesia adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu pendidikan yang dapat membawa kemajuan bagi peserta didik. Ungkapan ini merupakan respon dari adanya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat kita, yaitu pendidikan yang mengajarkan hal-hal yang sulit dipelajari tetapi tidak berfungsi untuk masa depan.
b. Hasyim Asy’ari
Gagasan Hasyim Asy’ari adalah bahwa untuk berjuang mewujudkan cita-cita nasional termasuk dalam bidang pendidikan, diperlukan wadah berupa organisasi pada tahun 1926 ia mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, dalam organisasi ini Hasyim Asy’ari berjuang membina dan menggerakkan masyarakat melalui pendidikan. Beliau juga mendirikan pondok pesantren sebagai basis pendidikan dan perjuangan melawan Belanda.
c. K.H. Ahmad Dahlan
Selain itu, Ahmad Dahlan juga berpandangan bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai kehidupan dunia. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana siswa itu hidup. Dengan pendapatnya yang demikian itu, sesungguhnya Ahmad Dahlan mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa mencoba melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.
Ahmad Dahlan sadar, bahwa tingkat partisipasi muslim yang rendah dalam sektor-sektor pemerintahan itu karena kebijakan pemerintah kolonial yang menutup peluang bagi muslim untuk masuk. Berkaitan dengan kenyataan serupa ini, maka Ahmad Dahlan berusaha memperbaikinya dengan memberikan pencerahan tentang pentingnya pendidikan yang sesuai perkembangan zaman bagi kemajuan bangsa. Berkaitan dengan masalah ini Ahmad Dahlan mengutip ayat 13 surat al-Ra’d yang artinya: Sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.
Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan sebagaimana tersebut di atas dilaksanakan lebih lanjut melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya. Salah satu kegiatan atau program unggulan organisasi ini adalah bidang pendidikan. Sekolah Muhammadiyah yang pertama berdiri satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi berdiri. Pada tahun 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama bisa memberikan mata pelajaran umum.
KESIMPULAN
Sistem pendidikan nasional di Indonesia pada zaman orde lama masih banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan zaman Belanda. Dalam usahanya Ki hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan mencoba merumuskan Sistem pendidikan nasional yang berlandaskan budaya bangsa Indonesia sendiri demi mewujudkan bangsa yang terhormat dan maju.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Muh. Said dan Junima Affan, Mendidik dari Zaman ke Zaman, Bandung: Jemmars, 1987.
Nugroho Noto Susanto, Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, 1983.
Tim Sejarah, Sejarah 2, Jakarta: Yudhistira, 1994.
Jumat, 04 Desember 2009
Sains Wawasan Ku
1.Gempa tektonik : Gempa bumi yang terjadi karena adanya tenaga tektonik.
2.Gempa vulkanik : Gempa bumi yang disebabkan oleh letusan gunung merapi / tenaga endogen.
3.Gempa runtuhan : Gempa yang disebabkan oleh runtuhnya atap gua di dalam tanah.
4.Gempa linier : Gempa yang epistrumnya berbetuk garis.
5.Gempa sentral : Gempa yang episentrumnya berbentuk titik.
6.Gletser : Air yang mengalir dari hasil mencair es atau salju.
7.Lakolit : Magma yang menyusup diantara lapisan batuan yang menyebabkan lapisan batuan di atasnya terangkat menjadi cembung.
8.Lava : Magma dalam bumi yang mengalir ke permukaan bumi.
9.Lahar : Lumpur panas yang merupakan campuran antara lava dan air.
10.Litosfer : Lapisan kulit bumi atau batu-batuan.
11.Makroseista : Daerah di permukaan bumi yang mengalami kerusakan terhebat akibat gempa.
12.Massa stasioner : Masa yang bebas dari pengaruh getaran gempa.
13.Morena : Bahan-bahan seperti batu-batu dan serpihannya yang diendapkan oleh gletser.
14.Orogenetik : Gerak endogen yang menimbulkan terjadinya gunung/lembah.
15.Pelapukan : Proses perubahan sifat fisik dan kimia batuan di permukaan bumi akibat pengaruh cuaca dan iklim.
16.Peta dasar : Peta yang dijadikan acuan untuk pembuatan peta baru.
17.Peta tematik : Peta yang menggambarkan hal-hal atau tema tertentu, misalnya peta penyebaran penduduk.
18.Pleistoseista : Garis pada peta yang membatasi daerah yang mengalami kerusakan terhebat di sekitar episentrum.
19.Profil tanah : Penampangan perlapisan tanah.
20.Preatis :Permukaan air tanah yang terdapat diatas lapisan kedap air.
21.Reboisasi : Penanaman kembali hutan yang telah gundul.
22.Relief : Perbedaan ketinggian pada permukaan bumi.
23.Proyeksi azimutal normal : Proyeksi / Cara menggambarkan peta yang tegak lurus dengan permukaan bumi di kutub utara dan selatan.
24.Proyeksi Gnomonis : Proyeksi sentral dengan titik pusat pada pusat bola bumi.
25.Proyeksi Stereografis : Proyeksi dengan titik pusat yang berlawanan dengan titik singgung.
26.Gletserntasi : Proses pengendapan hasil erosi karena daya angkut berkurang.
27.Sengkedan : Teras-teras di lereng tanah miring yang dibuat untuk memperkecil erosi.
28.Sensor : Alat pengindra yang mampu menerima dan merekam tenaga (sinar) yang dating dari objek.
29.Seismograf : Alat pencatat getaran gempa.
30.Seismogram : Catatan / Grafik getaran-getaran gempa yang dihasilkan oleh alat seismograf.
31.Seismologi : Ilmu yang mempelajari tentang gempa.
32.Sinklinal : Lembah lipatan.
33.Sill : Lapisan magma tipis yang menyusup diantara lapisan batuan.
34.Spasial : Dimensi ruang atau keruangan.
35.Skala : Perbandingan besaran antara gambaran peta dikertas dengan keadaan lapangan sebenarnya.
36.Soil creep : Tnah menyerap menuruni lereng karena gaya grafitasi.
37.Solfater : Sumber gas belerang (H2S) yang memiliki bau khas daerah gunung berapi.
38.Struktur wilayah : Keadaan suatu wilayah secara fisik dan social.
39.Sumur arteries : Suatu mata air yang airnya memancar karena adanya tekanan yang cukup besar dari dalam.
40.Tenaga eksogen : Tenaga yang berasal dari luar bumi, seperti air, angina, terik matahari, dan organisme.
41.Tenaga endogen : Tenaga yang berasal dari dalam bumi, seperti vulkanisme, gempa bumi, dan tektonisme.
42.Teritorial : Dimensi tempat / wilayah atau kewilayahan.
43.Temporal : Dimensi waktu.
44.Tektonisme : Tenaga dari dalam buni yang menyebabkan terjadinya pergeseran / dislokasi, lipatan, sesar atau patahan pada kulit bumi dan batuan.
45.Unsur interprestasi citra : Karakteristik obyek yang tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali obyek.
46.Vulkanisme : Gejala alam yagng berkaitan dengan kegiatan magma di dalam bumi.
47.Abiotik : Segala benda yang tidak termasuk dalam mahluk hidup.
48.Biotik : Mahluk hidup (tumbuhan, hewan, manusia).
49.Ekshalasi : Sumber-sumber gas yang di keluarkan oleh gunung merapi.
50.Fenomena : Gejala atau kejadian yang munculpada obyek tertentu.
2.Gempa vulkanik : Gempa bumi yang disebabkan oleh letusan gunung merapi / tenaga endogen.
3.Gempa runtuhan : Gempa yang disebabkan oleh runtuhnya atap gua di dalam tanah.
4.Gempa linier : Gempa yang epistrumnya berbetuk garis.
5.Gempa sentral : Gempa yang episentrumnya berbentuk titik.
6.Gletser : Air yang mengalir dari hasil mencair es atau salju.
7.Lakolit : Magma yang menyusup diantara lapisan batuan yang menyebabkan lapisan batuan di atasnya terangkat menjadi cembung.
8.Lava : Magma dalam bumi yang mengalir ke permukaan bumi.
9.Lahar : Lumpur panas yang merupakan campuran antara lava dan air.
10.Litosfer : Lapisan kulit bumi atau batu-batuan.
11.Makroseista : Daerah di permukaan bumi yang mengalami kerusakan terhebat akibat gempa.
12.Massa stasioner : Masa yang bebas dari pengaruh getaran gempa.
13.Morena : Bahan-bahan seperti batu-batu dan serpihannya yang diendapkan oleh gletser.
14.Orogenetik : Gerak endogen yang menimbulkan terjadinya gunung/lembah.
15.Pelapukan : Proses perubahan sifat fisik dan kimia batuan di permukaan bumi akibat pengaruh cuaca dan iklim.
16.Peta dasar : Peta yang dijadikan acuan untuk pembuatan peta baru.
17.Peta tematik : Peta yang menggambarkan hal-hal atau tema tertentu, misalnya peta penyebaran penduduk.
18.Pleistoseista : Garis pada peta yang membatasi daerah yang mengalami kerusakan terhebat di sekitar episentrum.
19.Profil tanah : Penampangan perlapisan tanah.
20.Preatis :Permukaan air tanah yang terdapat diatas lapisan kedap air.
21.Reboisasi : Penanaman kembali hutan yang telah gundul.
22.Relief : Perbedaan ketinggian pada permukaan bumi.
23.Proyeksi azimutal normal : Proyeksi / Cara menggambarkan peta yang tegak lurus dengan permukaan bumi di kutub utara dan selatan.
24.Proyeksi Gnomonis : Proyeksi sentral dengan titik pusat pada pusat bola bumi.
25.Proyeksi Stereografis : Proyeksi dengan titik pusat yang berlawanan dengan titik singgung.
26.Gletserntasi : Proses pengendapan hasil erosi karena daya angkut berkurang.
27.Sengkedan : Teras-teras di lereng tanah miring yang dibuat untuk memperkecil erosi.
28.Sensor : Alat pengindra yang mampu menerima dan merekam tenaga (sinar) yang dating dari objek.
29.Seismograf : Alat pencatat getaran gempa.
30.Seismogram : Catatan / Grafik getaran-getaran gempa yang dihasilkan oleh alat seismograf.
31.Seismologi : Ilmu yang mempelajari tentang gempa.
32.Sinklinal : Lembah lipatan.
33.Sill : Lapisan magma tipis yang menyusup diantara lapisan batuan.
34.Spasial : Dimensi ruang atau keruangan.
35.Skala : Perbandingan besaran antara gambaran peta dikertas dengan keadaan lapangan sebenarnya.
36.Soil creep : Tnah menyerap menuruni lereng karena gaya grafitasi.
37.Solfater : Sumber gas belerang (H2S) yang memiliki bau khas daerah gunung berapi.
38.Struktur wilayah : Keadaan suatu wilayah secara fisik dan social.
39.Sumur arteries : Suatu mata air yang airnya memancar karena adanya tekanan yang cukup besar dari dalam.
40.Tenaga eksogen : Tenaga yang berasal dari luar bumi, seperti air, angina, terik matahari, dan organisme.
41.Tenaga endogen : Tenaga yang berasal dari dalam bumi, seperti vulkanisme, gempa bumi, dan tektonisme.
42.Teritorial : Dimensi tempat / wilayah atau kewilayahan.
43.Temporal : Dimensi waktu.
44.Tektonisme : Tenaga dari dalam buni yang menyebabkan terjadinya pergeseran / dislokasi, lipatan, sesar atau patahan pada kulit bumi dan batuan.
45.Unsur interprestasi citra : Karakteristik obyek yang tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali obyek.
46.Vulkanisme : Gejala alam yagng berkaitan dengan kegiatan magma di dalam bumi.
47.Abiotik : Segala benda yang tidak termasuk dalam mahluk hidup.
48.Biotik : Mahluk hidup (tumbuhan, hewan, manusia).
49.Ekshalasi : Sumber-sumber gas yang di keluarkan oleh gunung merapi.
50.Fenomena : Gejala atau kejadian yang munculpada obyek tertentu.
Keperibadian dan Sikap Keberagamaan
Pengertian dan Teori Kepribadian
Istilah-istilah yang dikenal dalam kepribadian:
Metally, Personaliy, individuality, indentity, selanjutnya berdasarkan pengertian tersebut para ahli mengemukakan definisinya yaitu: “Allport :“dengan mengecualikan beberapa sifat kepribadian dapat dibatasi sebagai cara bereaksi yang khas dari seseorang induvidu terhadap perangsang sosial dan kualitas penyesuaian diri yang dilakukannya terhadap segi sosial dari lingkungannya.””. , sementara “Woodworth” ;”Kwalitas dari seluruh tingkah laku seseorang”. “Mark A May “Kepribadian adalah perangsang sosial seseorang”. Selanjutnya dari sudut pandang filsafat “William stern adalah suatu kesatuan banyak (unita multi complex) yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu dan mengandung sifat-sitat khusus induvidu, yang bebas menentukan dirinya sendiri”, sementara Prof. Kohnstamm sangat menentang pendapat W Stern yang meniadakan kesadaran akan tuhan dalam pribadi terutama pada Tuhan, maka menurut Prof Kohnstamm “ Tuhan merupakan pribadi yang mengusai alam semesta, dengan kata lain kepribadian sama artinya dengan teistis(keyakinan/keagamaan), maka orang yang berkepribadian adalah orang yang menyakini akan adanya Tuhan.”
Tipe-tipe kepribadian
Aspek Biologis yaitu didasarkan pada konstitusi tubuh dan bentuk tubuh yang dimiliki seseorang, tokoh yang menggunakan teori ini adalah Hippocrates dan gelenus “Tipe Choleris, Melancholic, Plegmatis, Sanguinis”. Sementara Sheldom membagi tipe berdasarkan dominasi yang berada dalam tubuh seseorang yaitu ektomorp;berbadan kurus, Mesomorp; berbadan sedang, Endomorph; gemuk dan bulat. Dari Aspek sosiologis maka Edward Spranger membagi menjadi enam yaitu:1 tipe teoritis, 2 ekonomis, 3 estetis, 4 sosial, 5 politis, 6 reliegius.
Hubungan kepribadian dan sikap keagamaan
Sukamto M.M kepribadian terdiri dari emapat sistem yaitu QALB; sesuatu yang berbolak balik, bisa diartikan sebagai daging /biologi atau kehatian / nafsiologis. Nabi Muhammad saw “ ketahuilah bahwa didalam tubuh ada sekepal daging, kalau itu baik baiklah seluruh tubuh, kalau itu rudak, rusaklah seluruh tubuh, itulah QALBU”:hadist Bukhari Muslim, FUAD: yaitu perasaan terdalam dalam hati dan sering disebut hati nurani (QS. AL QASHASH:10, AL-FURQON:32, AL-NAJM:11), EGO;Adalah derivat dari qalbu dan bukan untuk merintanginya, yang berpegang pada prinsip reality dan principle, TINGKAH LAKU. Jadi berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Kepribadian seseorang sangat mempengaruhi sikap keagamaan setiap induvidu, dalam arti bahwa mereka yang hidup di lingkungan keluarga yang taat dan selalu berhubungan dengan benda-benda/ symbol-simbol agama serta menjalin hubungan yang positif terhadap orang – orang yang taat dalam menjalankan agama, maka akan dapat mempengaruhi karakter/sifat kepribadian seseorang, sebaliknya mereka yang asing dengan lingkungan seperti itu tentunya akan sulit mengenal nilai-nilai moralitas yang tentunya banyak terkandung dalam ilmu-ilmu keagamaan, dalam tingkat lebih jauh bisa saja mereka tidak peka terhadap hal-hal keagamaan, mulai dari cara berfikir, pemahaman, sikap menghargai, bahkan dimungkinkan ketiadaan pengenalan terhadap symbol-simbol agama seperti hari-hari besar perayaan agama, upacara, aktualisasi agama (sholat), rumah ibadah(masjid), cara berpakaian dst…
Dalam konteks ini terlihat bagaimana pentingnya pendidikan agama sejak dini, bahkan jika perlu dalam kandungan sekalipun, jadi ini dilakukan guna membentuk karekter yang positif terhadap anak, tentunya dengan tidak melupakan usia, maksudnya cara penyampaian yang persuasive dan komunikatif sesuai dengan tipe2 anak/ induvidu. Aqidah adalah pondasi utama dalam pembentukan karakter setiap induvidu. Ini sangat berpengaruh, karna nilai-nilai agama yang sudah tertanam sejak dini akan memperkuat cara berfikir, bertingkah laku, berbicara hingga membentuk kepribadian yang positif, yaitu kepribadian yang satusisi ia taat pada Penciptanya, dan satu sisi ia mengaplikasikannya dalam kehidupan sosialnya dengan melakukan apa yang diperintah Tuhannya dan tidak melakukan apa yang dilarang Tuhannya, dalam hal ini Islam telah mengatur dan tertuang di Al Qur’an dan Sunnah. Jadi Kenyakinan terhadan dien/agama yang kuat akan mempengaruhi banyak hal yang menyangkut karakter seseorang hingga akhirnya membentuk kepribadian yang positif dan proaktif.
Istilah-istilah yang dikenal dalam kepribadian:
Metally, Personaliy, individuality, indentity, selanjutnya berdasarkan pengertian tersebut para ahli mengemukakan definisinya yaitu: “Allport :“dengan mengecualikan beberapa sifat kepribadian dapat dibatasi sebagai cara bereaksi yang khas dari seseorang induvidu terhadap perangsang sosial dan kualitas penyesuaian diri yang dilakukannya terhadap segi sosial dari lingkungannya.””. , sementara “Woodworth” ;”Kwalitas dari seluruh tingkah laku seseorang”. “Mark A May “Kepribadian adalah perangsang sosial seseorang”. Selanjutnya dari sudut pandang filsafat “William stern adalah suatu kesatuan banyak (unita multi complex) yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu dan mengandung sifat-sitat khusus induvidu, yang bebas menentukan dirinya sendiri”, sementara Prof. Kohnstamm sangat menentang pendapat W Stern yang meniadakan kesadaran akan tuhan dalam pribadi terutama pada Tuhan, maka menurut Prof Kohnstamm “ Tuhan merupakan pribadi yang mengusai alam semesta, dengan kata lain kepribadian sama artinya dengan teistis(keyakinan/keagamaan), maka orang yang berkepribadian adalah orang yang menyakini akan adanya Tuhan.”
Tipe-tipe kepribadian
Aspek Biologis yaitu didasarkan pada konstitusi tubuh dan bentuk tubuh yang dimiliki seseorang, tokoh yang menggunakan teori ini adalah Hippocrates dan gelenus “Tipe Choleris, Melancholic, Plegmatis, Sanguinis”. Sementara Sheldom membagi tipe berdasarkan dominasi yang berada dalam tubuh seseorang yaitu ektomorp;berbadan kurus, Mesomorp; berbadan sedang, Endomorph; gemuk dan bulat. Dari Aspek sosiologis maka Edward Spranger membagi menjadi enam yaitu:1 tipe teoritis, 2 ekonomis, 3 estetis, 4 sosial, 5 politis, 6 reliegius.
Hubungan kepribadian dan sikap keagamaan
Sukamto M.M kepribadian terdiri dari emapat sistem yaitu QALB; sesuatu yang berbolak balik, bisa diartikan sebagai daging /biologi atau kehatian / nafsiologis. Nabi Muhammad saw “ ketahuilah bahwa didalam tubuh ada sekepal daging, kalau itu baik baiklah seluruh tubuh, kalau itu rudak, rusaklah seluruh tubuh, itulah QALBU”:hadist Bukhari Muslim, FUAD: yaitu perasaan terdalam dalam hati dan sering disebut hati nurani (QS. AL QASHASH:10, AL-FURQON:32, AL-NAJM:11), EGO;Adalah derivat dari qalbu dan bukan untuk merintanginya, yang berpegang pada prinsip reality dan principle, TINGKAH LAKU. Jadi berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Kepribadian seseorang sangat mempengaruhi sikap keagamaan setiap induvidu, dalam arti bahwa mereka yang hidup di lingkungan keluarga yang taat dan selalu berhubungan dengan benda-benda/ symbol-simbol agama serta menjalin hubungan yang positif terhadap orang – orang yang taat dalam menjalankan agama, maka akan dapat mempengaruhi karakter/sifat kepribadian seseorang, sebaliknya mereka yang asing dengan lingkungan seperti itu tentunya akan sulit mengenal nilai-nilai moralitas yang tentunya banyak terkandung dalam ilmu-ilmu keagamaan, dalam tingkat lebih jauh bisa saja mereka tidak peka terhadap hal-hal keagamaan, mulai dari cara berfikir, pemahaman, sikap menghargai, bahkan dimungkinkan ketiadaan pengenalan terhadap symbol-simbol agama seperti hari-hari besar perayaan agama, upacara, aktualisasi agama (sholat), rumah ibadah(masjid), cara berpakaian dst…
Dalam konteks ini terlihat bagaimana pentingnya pendidikan agama sejak dini, bahkan jika perlu dalam kandungan sekalipun, jadi ini dilakukan guna membentuk karekter yang positif terhadap anak, tentunya dengan tidak melupakan usia, maksudnya cara penyampaian yang persuasive dan komunikatif sesuai dengan tipe2 anak/ induvidu. Aqidah adalah pondasi utama dalam pembentukan karakter setiap induvidu. Ini sangat berpengaruh, karna nilai-nilai agama yang sudah tertanam sejak dini akan memperkuat cara berfikir, bertingkah laku, berbicara hingga membentuk kepribadian yang positif, yaitu kepribadian yang satusisi ia taat pada Penciptanya, dan satu sisi ia mengaplikasikannya dalam kehidupan sosialnya dengan melakukan apa yang diperintah Tuhannya dan tidak melakukan apa yang dilarang Tuhannya, dalam hal ini Islam telah mengatur dan tertuang di Al Qur’an dan Sunnah. Jadi Kenyakinan terhadan dien/agama yang kuat akan mempengaruhi banyak hal yang menyangkut karakter seseorang hingga akhirnya membentuk kepribadian yang positif dan proaktif.
Langganan:
Postingan (Atom)